Wednesday, April 30, 2014

Banking on hunger

The UK’s newspapers are notorious for the high levels of political bias in their reporting. This makes them rather unreliable sources for those of us who are trying to get objective information and facts about the happenings in one of the world’s richest countries, but it also means that they can provide a useful cultural barometer of the feelings of the population, especially in these days when the public can easily respond to what they read using social media tools like Twitter.
A good example of this comes from a story this weekend in the Mail on Sunday, the sister paper of the famously right wing and vacuous Daily Mail – which, astonishingly enough, has built the most popular newspaper website on the internet through a mix of extreme politics, shock stories, and paparazzi pictures of celebrities. The Mail on Sunday sent investigative reporters to some of the UK’s food banks – charities that hand out free food to the  unemployed and unfortunate, the exploited and oppressed who have been left jobless and penniless by the ongoing recession that has affected countries across Europe.
These reporters told the food banks that they were unemployed, and lied about their situation to make themselves sound desperate and hungry. The food banks ran the few basic ID checks that they usually do, and then handed over some small food parcels. According to the Mail on Sunday, this is an outrage, and demonstrates that the recent figures that suggest that one million British people have had to use food banks in the past year are false. Many of the people using the food banks, they claimed, will just be ‘scroungers’ and chancers who are only looking for a free meal, just like the reporters were.
The response on Twitter and other social media has been primarily one of anger. People have pointed out the obvious logical flaw that just because people who work for the Mail on Sunday are willing to tell barefaced lies in exchange for food, it doesn’t mean the rest of us would do the same. But others have pointed out that even if there is a grain of truth to the story, it doesn’t actually matter. If even 20% of the food bank recipients are fake, that still leaves 800,000 people going hungry and requiring additional food packages just to get by. Many of these will be children. That figure, while not as symbolic as the one million mark that is often used, should still be a source of national shame in one of the richest countries in the world.
The UK continues to have one of the world’s highest GDPs, one of its most glittering and expensive cities in London, and has an elite class of businessmen, bankers, and politicians who are making huge amounts of money even in these times that are so tough for the ordinary man on the street. These rich elites have long encouraged an ideology in which people see those who need help as somehow unworthy of it – they’re not trying hard enough, or they don’t really want to work, they just want people to give them money for free. No mention of the fact that wages have stagnated for the majority of the population, or that jobs are not available, or that many recent graduates have the added burden of debt to deal with. Simply a ‘winner takes all’ capitalist philosophy which encourages the poor to tread on each other to get ahead.
It’s this kind of ideology that the Mail on Sunday was promoting with their food bank article. Luckily, the reaction against it, and the understanding that the need for food banks is the real problem, rather than the exact numbers of people using them, suggests that an increasing number of people might be waking up to the emptiness of this ideology. We must hope that this is the start of an increased class consciousness and a fightback against a political elite that has long scapegoated the very people it is keeping poor.

Britain food banks, British people, capitalist philosophy, class consciousness, Daily Mail, donations surge, elite class of businessmen, extreme politics, food bank charity, food bank recipients, food banks, food parcels, give money for free, hand out free food, ID checks, investigative reporters, left jobless, Mail on Sunday, majority of the population, newspaper website, objective information, paparazzi pictures of celebrities, political bias, political elite, requiring additional food packages, rich elites, right wing, shock stories, social media tools, source of national shame, tell barefaced lies, Twitter, unreliable sources, world's highest GDP

Sunday, April 27, 2014

全球食品体系——有待结束的疯狂

全球的食品体系已被破坏,只要花点儿时间,所有人都能发现这一点。即使对一个漫不经心的观察者来说,这也是显而易见的事儿,主要原因在于,每年的农业产出要养活全球人口实际上是绰绰有余的——全世界却有数亿人口仍在忍饥挨饿。这本应是我们所有人挂在嘴边、予以表达的愤怒,却在大多数时候被扫在了地毯下,不为我们中有食物可吃的幸运儿所知晓。不过,联合国已开始注意到了这一问题,其指派的食品权特别报告员 Olivier de Schutter 近期也就此发布了一份详细报告。



让我们来看看在这个体系中部分最严重的问题。其中最糟糕的问题可能是,贫穷的国家被迫种植食品来偿付债务,而不能将其用于喂养自己的人民。非洲和拉丁美洲国家在20世纪所承受的债务——剥削性银行提供的资金大部分都流入了腐败的独裁者的腰包——发展中国家需要尽力获得外币,只为了让自己能够付清利息,避免违约。这意味着他们会种植花卉、咖啡、可可和在拉丁美洲尤其显著的肉类和大豆。这些产品对饥饿的普通市民来说并无营养价值,或者,它已完全超出了当地人民的购买能力(就肉类来说)。它们全都被低价出口到了更富裕的国家,试图以此偿清无论如何都会被取消的债务,占据本可以为当地居民种植可食用作物的宝贵的农用土地。

与此同时,在富裕的国家也有农民,他们会生产小麦和其他谷物、更重要的动物产品,以及一些油料作物和大豆。由于这些国家更高的生活成本,这类产品大多非常昂贵——但是,这些富裕的国家会为农民提供补贴,帮助他们降低成本。因此,这些国家普通公民缴纳的税收都进了(通常较为富裕的)地主的口袋,以便后者开展效率相当低下的服务。由于农民受到了生产过多食品的鼓励——在欧洲也就浪费了成山的黄油和如湖的牛奶,原因非常简单,因为这类产品太多,超出了人们的消费所需。我们本可以将它们提供给其他国家的穷人——但是,显然穷人无法负担这些产品,因此,我们宁愿任其腐烂。

这一切已经够荒唐了,但我们的食品体系还在加速气候变化。工业化农业大量使用农药和化学肥料的特点,对环境造成了破坏;用于生产肉和奶的家畜会产生甲烷,它们的增多也就增加了温室气体;在全球范围内运输食品,而不是鼓励人们食用当地生产的食物,也要求使用大量会产生碳排放的燃料。

作为替代方案,联合国的特别报告员将鼓励人们经营小规模的农场,专注于多种作物和食品资源的种植,而不是单一的经济作物;采用环保的生产方法,摆脱对化学品的依赖;实现生物燃料的目标(将人们在世界各地种植的越来越多的作物添加到汽油中,让其更加环保);终止富裕国家浪费食品的现象。所有这一切都是非常不错的措施,但是,要贯彻执行它们,则需要联合国采取强有力的行动。毕竟,目前的食品体系可能看起来疯狂,但它也有很好的理由按此方式继续运行下去——因为一些人能从中获得大量金钱。这些人将千方百计拒绝改变,即使当前的体系会伤害、剥削穷人——我们应该齐心协力,支持联合国贯彻更公正的可持续发展策略。


从英文版翻而来
原文于 49, http://anashell.blogspot.com/2014/04/the-global-food-system-madness-that.html

[ 全球食品体系, 每年的农业产出, 养活全球人口, 联合国, Olivier de Schutter, Ana Shell ]

Tuesday, April 22, 2014

Imaginasi Tak Kreatif Mengarah pada Pengeboran Minyak Lagi

Beberapa tahun yang lalu, proyek Yasuni milik pemerintah Ekuador menjadi perbincangan dari para aktivis anti minyak bumi dan perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen. Idenya sederhana, ada cadangan minyak yang amat besar di bawah taman nasional Yasuni yang kaya dengan keanekaragaman hayati di Ekuador. Biasanya bagi negara miskin seperti Ekuador, ada dorongan ekonomi yang kuat untuk mengabaikan kekhawatiran akan lingkungan dan melakukan pengeboran minyak. Namun, Ekuador memberi pilihan kepada komunitas internasional untuk mengubah situasinya dengan memberi kompensasi kepada negara tersebut untuk membiarkan minyak yang ada dan mempertahankan keindahan alam di sana. Jika nilai kompensasi yang ditawarkan cukup besar, Ekuador akan menjadi negara pertama yang menolak melakukan pengeboran minyak mereka sendiri.



Hal tersebut adalah ide yang bagus mengingat hal itu berkaitan langsung dengan isu utama yang dibahas pada pertemuan perubahan iklim, yaitu isu tentang keadilan. Negara-negara kaya yang kini mengimbau negara-negara berkembang untuk memangkas emisi mereka adalah negara-negara yang telah terlebih dahulu menjadi penyumbang utama emisi di atmosfer kita - dalam kebanyakan kasus, alasan utama negara-negara ini tidak melakukan pengeboran minyak lagi adalah karena cadangan minyak mereka telah habis. Proyek Yasuni dapat mengatasi isu ini dengan memberi Ekuador sebuah insentif ekonomi untuk melakukan tindakan yang benar. Proyek ini memberi Ekuador manfaat dari pengeboran minyak tanpa efek polusi dan sedikit memperkecil jarak antara negara kaya dan miskin. Norwegia, negara yang kaya karena pengeboran minyak, adalah negara kaya pertama yang menawarkan uang kompensasi.

Sayang pada akhirnya, proyek ini terlalu muluk untuk menjadi kenyataan. Pengeboran minyak di taman nasional Yasuni telah dijadwalkan, meski adanya protes dari seluruh dunia dan masyarakat Ekuador. Meski oleh beberapa pihak disebut sebagai menghianati kepercayaan, ternyata pemerintah Ekuador tengah berdiskusi dengan perusahaan minyak asal Tiongkok berkaitan dengan pengeboran minyak, di saat mereka mempromosikan proyek Yasuni pada pertemuan perubahan iklim.

Namun pengkhianatan dan kegagalan bukanlah kesalahan di pihak pemerintah Ekudor. Sebenarnya, hal ini adalah kegagalan di pihak komunitas internasional dan negara-negara kaya untuk membantu Ekuador melindungi taman nasional mereka. Uang kompensasi tidak dibayarkan, dan perekonomian dunia kapitalis kita memaksa Ekuador untuk melakukan pengeboran minyak demi kemajuan ekonomi mereka. Faktanya, dengan tidak membayarkan uang kompensasi, negara-negara kaya seolah membenarkan tindakan Ekuador yang bernegosiasi dengan perusahaan-perusahaan asal China. Hal ini tidak memperlihatkan kurangnya kepercayaan dari Ekuador, melainkan mereka tidak percaya negara-negara lain akan membantu. Dan terbukti, kalau mereka memang benar.

Kini adalah waktunya bagi negara-negara kaya untuk menyadari bahwa jika dunia harus mengubah sistem energi yang bergantung pada minyak, maka mereka yang telah menggunakan bahan bakar fosil lebih lama harus berada di garis depan. Meminta dan berharap negara-negara yang lebih kecil dengan sumber daya yang terbatas untuk memulainya tidak akan berhasil. Hal ini hanya memperparah ketidakadilan global yang kita semua alami. Kita semua perlu bertindak untuk mengubah kebiasaan kita dan menjauh dari penggunaan minyak. Namun, atas nama demi keadilan dan kesetaraan, negara-negara kaya harus memberi contoh. Kini saatnya bagi negara-negara kaya untuk berhenti berlambat-lambat dan sebaliknya bertindak daripada hanya berbicara.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 19.03.2014: http://anashell.blogspot.com/2014/03/a-failure-of-imagination-leads-us-to.html

[ proyek Yasuni, pemerintah Ekuador, Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen, taman nasional Yasuni, kekhawatiran akan lingkungan, melakukan pengeboran minyak, Pengeboran minyak di taman nasional Yasuni ]

Sunday, April 20, 2014

The death of Detroit

The city of Detroit has been seen as many things to many people. A city is such a huge and unknowable entity that every view we take can only be partial, colored by our own political perspective and background. Some of the lenses that have been used to view the wreckage and ruin of modern Detroit: to many on the right, it is a symbol of a town with too many unions, and an example of how those unions destroy the jobs they are meant to protect by making things too difficult for the capitalist class. Others from the same side of the political spectrum argue that the Democrats who led Detroit taxed the people too highly and spent too much money on public services and welfare. Those with a more extreme viewpoint take a racist approach – they say that Detroit’s problems stem from the fact that it is majority black, and that black people should not be allowed or expected to govern themselves properly.
Those of us on the left would not agree with any of those viewpoints, but it’s impossible for us not to see that Detroit has problems. The population has fallen by 25% in the last decade, grand old buildings like Michigan Central Station lie in ruins, and in 2013 Detroit became the largest city in the history of the US to file for bankruptcy. The unemployment rate is by far the worst in any of the 50 biggest cities in the country, at over 23%. In some areas that have been abandoned and destroyed by gangs, broken down and boarded up houses are selling for a dollar.
The problem is that these suburban areas are in a different jurisdiction from Detroit proper. The suburbs pay tax to themselves, while the large city of Detroit is left to run itself with an increasingly small amount of tax money – as most of the people that have stayed in the city, by choice or because they had nowhere else to go, are too poor to pay anything. The result is a police force that cannot handle the criminals, a city that cannot repair crumbling infrastructure, and a vicious circle of poverty that the remaining inhabitants find it increasingly hard to climb out of.So what is the cause of this decline, if we don’t accept the right wing narrative? We could instead argue that Detroit is a victim of suburbanization and the ‘white flight’ phenomenon. The suburban communities around Detroit are, perhaps surprisingly, very wealthy indeed. These suburbs became very popular in the late 1960s due to a number of factors. The increasing wealth of the white population in post-war America allowed them to be attracted to the ‘American Dream’ of owning a big house in the ‘burbs with a lawn and space for two cars. At the same time, race riots in 1967 and the growing power and militancy of the unions scared those same rich white people into making a decision – they chose to leave behind urban living and move out to the suburbs.
A similar story has been repeated on a smaller scale throughout the country, with rich whites abandoning inner cities in favour of bland suburbs where they can live exclusively with their own kind. Meanwhile, urban areas fall apart with no federal or state support to boost their meagre tax income. Detroit is merely the most extreme example. The suburbanization of America – a philosophy which is increasingly spreading to other parts of the world – needs to be discouraged as much as possible. Suburbs are a sign of segregation (between the rich and the poor, and the white and the black), a sign of environmental destruction, a sign of cultural uniformity – and a sign of economic distress for the inner city areas in which the poor and the exploited primarily live. The death of Detroit is a byproduct of the American dream of suburban living, and clearly shows us what happens to those who cannot afford that dream.

American dream, areas destroyed by gangs, capitalist class, cultural uniformity, Detroit proper, economic distress, environmental destruction, file for bankruptcy, growing power, handle the criminals, in different jurisdiction, increasing wealth, inner city areas, making a decision, meagre tax income, Michigan Central Station, move out to suburbs, pay tax, police force, political perspective, political spectrum argue, population has fallen, post-war America, public services, race riots, racist approach, repair crumbling infrastructure, right wing narrative, segregation, state support, suburban areas, suburban communities, suburbanization of America, unemployment rate, urban living, vicious circle of poverty, victim of suburbanization, welfare, white flight phenomenon, white population, wreckage of modern Detroit

Tuesday, April 15, 2014

在田纳西州为工会而斗争

几个星期前,在田纳西州的一家大众汽车制作厂,人们就是否加入工会进行了投票。相当标准的流程,并且会在世界各地的工业场所定期举行,对吧?投票以微弱的劣势未获通过,该厂将不会加入工会,至少在目前来说是这样。但是,尽管这次投票看来很平常,却在全美国变成了一个大得多的话题。



人们指责共和党参议员影响了投票结果,具体表现在威胁工人他们将对整个田纳西州造成破坏,让他们的朋友和家人失去潜在的工作机会。参议员争辩说,如果大众加入了工会,这将意味着其他雇主在为制造厂选址时,会避开田纳西州——他们将搬去其他没有加入工会的地方(因为美国南部和西部还有许多州都未加入工会)。更为致命的是,他们还声称,如果工人加入工会,州政府将不再为大众提供鼓励其在田纳西建造生产设施的补贴——从本质上来说,这就通过积极地将大众厂推向其他地方,而迫使他们的预言成真。

当然,类似这样反工会的状况在美国仍然较为普遍。实际上,大众等德国公司拥有相当强大的工会文化,至少在德国是如此,因为在其国内,人们显然对合作、互惠互利和作为一个社会共同工作的需要有强烈得多的信仰。而在美国,反工会的思想却比比皆是,也的确有许多公司威胁称如果成立工会,就离开该区——即使是在未受到政治家或政府的影响的情况下。

沃尔玛和麦当劳都是坚定的反工会组织,其中,沃尔玛会密切注意员工,在出现工会组织征兆的第一时间就采取行动——最近流出了该公司提供给商店管理层的一系列反工会谈话重点。自NAFTA1994年成立以来,对公司来说,将制造工序迁往墨西哥国境线以南变得越来越简单,在那里,由于当地人民的极度贫穷,雇主需要支付的工资更低,劳动力也更容易为其所用。

工会可能有其自身的缺点,但是,长久以来,它也是工薪阶级和穷人从资产阶级剥削他人的所有者处要求并赢得人权和自由的传统方式。因此,沃尔玛等超资本主义公司希望破坏工会也是相当能让人理解的。然而,政治家应当为其所代表的人民站出来,而不是和田纳西州的共和党人一样,加入企业反工会的阵线。不幸的是,如今的政治家似乎更关心金钱和他们的企业朋友,而不是帮助穷人和工薪阶级——是时候让美国南部各州的工薪阶级意识到这点,以不同的方式进行投票了。


从英文版翻而来
原文于 3月9, http://anashell.blogspot.com/2014/03/fighting-for-union-in-tennessee.html

田纳西州, 为工会而斗争, 一家大众汽, 车制作厂, 沃尔玛, 麦当劳都, Volkswagen, Warmart, McDonalds

Sunday, April 13, 2014

Tuntutan Keadilan Di Masa Lalu, Menjadi Sorotan Kembali

Topik perbincangan yang hangat hari ini (setidaknya di antara teman-teman saya) adalah tentang keadilan demi iklim. Pendek kata, ini berarti ada beberapa negara yang memiliki tanggung jawab atas sejumlah besar polusi yang mereka hasilkan di masa lalu. Sementara negara lain memerlukan bantuan untuk mengatasi dampak polusi tersebut, sambil memastikan mereka tidak menciptakan polusi dalam jumlah besar yang sama. Oleh karena itu, negara-negara dengan tanggung jawab di masa lampau sepatutnya membantu negara-negara lain. Hal ini memang mudah di ucapkan, namun cukup sulit untuk dilaksanakan.



Hal ini mengingatkan akan sebuah isu serupa yang baru-baru ini menjadi sorotan berita - yaitu memperbaiki dampak yang timbul akibat perbudakan. Dampak akibat perdagangan budak dari Afrika ke Amerika Utara dan wilayah Karibia masih dirasakan bahkan hingga hari ini meskipun 150 tahun telah berlalu sejak perang sipil Amerika mengakhiri perbudakan di negara tersebut (jangka waktu yang lebih lama telah berlalu sejak perbudakan dihentikan di bagian lain bumi ini). Kita masih melihat kemiskinan dan diskriminasi yang di alami oleh warga kulit hitam di Amerika Serikat. Ekonomi berbasis sumber daya di Karibia yang menyebabkan warga di sana tetap miskin. Serta konfilk dan problem di wilayah Afrika Barat, tempat asal para budak.

Saat isu-isu ini diangkat, negara-negara barat cenderung berupaya untuk mengelak dan mengabaikan mereka yang mengajukan pertanyaan tersebut. Mereka takut jika mengakui kesalahan dalam perdagangan budak, maka mereka diharapkan untuk membayarkan kompensasi milyaran dolar untuk kerusakan yang di timbulkan perbudakan selama abad yang lampau. Meski pun mereka seharusnya membayar kompensasi tersebut, mereka akan mengelak dengan alasan membayarkan sejumlah besar uang tersebut kepada suatu negara yang sarat dengan konflik dan korupsi bukanlah solusi terbaik mengingat hal itu hanya akan menambah dana di rekening bank Swiss rahasia milik beberapa orang.

Namun, sebuah rencana yang baru-baru ini di umumkan oleh beberapa negara di Karibia menyediakan solusi yang lebih tepat untuk isu perbaikan. Sebaliknya dari meminta uang secara langsung, mereka meminta negara-negara Eropa untuk membantu dalam bentuk perawatan medis dan pendidikan di sana. Mereka juga diminta untuk membantu membentuk hubungan budaya dan politik antar negara-negara Karibia dengan Afrika Barat yang merupakan tempat asal kebanyakan warga mereka.  

Semoga rencana ini dapat lebih mudah diwujudkan di bandingkan dengan permintaan uang di masa lalu, dan negara-negara Eropa dapat membantu agar rencana ini terlaksana. Hal ini merupakan kesempatan besar bagi masyarakat yang telah tertindas dan tereksploitasi sepanjang sejarah dan juga menyediakan preseden tentang cara mengatasi hal ini pada masa mendatang. Sebaliknya dari pada terobsesi dengan angka dan uang, kita dapat lebih berfokus pada kerja sama untuk menyediakan keahlian dan sumber daya yang diperlukan oleh masyarakat miskin untuk dapat melampaui krisis iklim - entah itu kemampuan untuk membuat panel surya sendiri atau cara membangun rumah yang dapat bertahan terhadap perubahan ketinggian air atau yang lainnya. Memang, hal ini memerlukan koordinasi besar-besaran dan menghabiskan biaya. Namun jika untuk topik tentang perbudakan saja dapat disepakati oleh kita semua, maka kita pasti mampu melakukannya untuk masalah lingkungan mengingat hal tersebut memengaruhi kita semua.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 30.03.2014: http://anashell.blogspot.com/2014_03_01_archive.html

perdagangan budak, perang sipil Amerika, kemiskinan dan diskriminasi, Ekonomi berbasis sumber, perawatan medis, Ana Shell ]

Wednesday, April 9, 2014

The global food system – A madness that needs to end

Our global food system is broken, and anyone who takes the time to look at it can see this. The main thing that makes it obvious to even a casual observer is that we actually have more than enough agricultural output each year to feed the entire world – and yet hundreds of millions of people across the globe continue to be hungry. It should be an outrage on all of our lips, but it’s actually mostly swept under the carpet and ignored by those of us who are fortunate enough to have food on our plates. However, the UN has started to take notice, with the special rapporteur on the right to food, Olivier de Schutter recently releasing a very detailed report on the matter.
Let’s take a look at some of the biggest problems with the system. Perhaps worst of all, poor countries are forced to grow food not to feed their own people but to pay off their debts. Because of the debts incurred by countries in Africa and Latin America during the 20th century – mostly money given by exploitative banks to corrupt dictators – developing nations need to get their hands on as much foreign currency as they possibly can, just to keep paying off the interest and avoid defaulting. This means they end up producing flowers, coffee, cocoa, and, particularly in the case of Latin America, meat and soybeans. These products have no nutritional value for the average hungry citizen, or, in the case of meat, are totally unaffordable to locals. They are all shipped out to the richer countries at low prices in attempt to pay off debts that should be cancelled anyway, and take up valuable agricultural land that could be used to grow edible crops for local people.
Meanwhile, the rich world has its own farmers, who produce wheat and other grains and animal products primarily, as well as some oil crops and soy beans. Due to the higher living cost in these countries, much of this produce would be very expensive – but the rich nations pay subsidies to the farmers to help them keep the cost down. So the taxes of ordinary people are given to the (usually rich) landowners in these countries to perform a service that is completely inefficient. In fact, the subsidies actually make the process even less efficient, as the farmers are encouraged to produce too much – there are so-called mountains of butter and lakes of milk going to waste in Europe because there is simply too much of it for people to eat. We could give it to the poor in other countries – but, of course, they can’t afford it, so we’d rather let it rot.
All of that is ridiculous enough, but our food system is also accelerating climate change. Industrial agriculture damages the environment through its intensive use of pesticides and artificial fertilizers; the raising of cattle for beef and milk contributes to greenhouse gases through the production of methane; and the transport of food all over the world, as opposed to encouraging people to eat food that is locally produced, requires a huge use of carbon-spewing fuel.
As an alternative, the UN’s special rapporteur is going to be encouraging small scale farms that focus on diverse crops and food sources, rather than singular cash crops; environmentally production methods that don’t rely on chemicals; and end to biofuel targets (an increasing amount of the crops we grow around the world are simply added to gasoline to make it ‘greener’); and an end to food waste in the rich nations. All of these are good steps, but it will take strong action from the UN if we are to implement them. After all, the current global food system may seem crazy, but it continues to operate in this way for a good reason – because some people make a lot of money from it. Those people will resist change for as long as they can, even if the current system hurts and exploits the poor – it will take a concerted effort from all of us to support the UN in bringing about something more sustainable and more just.

accelerating climate change, agricultural land, agricultural output, ana shell, animal products, artificial fertilizers, avoid defaulting, biofuel targets, carbon-spewing fuel, corrupt dictators, current system, damage environment, developing nations, diverse crops, environmentally production methods, exploit the poor, exploitative banks, food sources, food waste, foreign currency, global food system, greenhouse gases, grow edible crops, hungry citizen, industrial agriculture, inefficient service, intensive use of pesticides, locally produced food, low prices, nutritional value, oil crops, Olivier de Schutter, pay off their debts, pay subsidies, poor countries, production of methane, rich nations, richer countries, singular cash crops, small scale farms, soy beans, the higher living cost, totally unaffordable, UN's special rapporteur

Sunday, April 6, 2014

想象的失败导致石油钻井作业增多

在几年前的哥本哈根气候变化会议上,厄瓜多尔政府提出的亚苏尼项目变成了气候变化和反石油积极分子的热门话题。这个想法很简单:厄瓜多尔国家公园的生物多样性令人难以置信,而在公园所在位置的地下,又蕴藏着大量的宝贵石油。通常情况下,这会对厄瓜多尔这类贫穷的国家产生极大的经济刺激,他们会把环境问题推到一边,开始钻取石油。然而,厄瓜多尔提议国际社会改变这一方程式,通过为相关国家提供补偿,将石油留在地下,保留原始的荒野。如果国际社会能提供足够的资金,让它具有真正的价值,厄瓜多尔就将成为首个拒绝开采自身拥有石油的国家之一。



实际上,这是个相当不错的主意,借此我们就能解决气候变化谈判中的主要症结之一——公平的问题。如今催促发展中国家减少碳排放的许多富裕国家,也是已经将自己在我们共同的大气空间内所拥有的公平份额用尽的国家——在许多情况下,富裕国家未钻取自身所有石油的唯一原因,就是他们已经将其消耗殆尽。亚苏尼项目将解决这一问题,因为它意在向厄瓜多尔提供经济刺激,让其做正确的事——让他们能获得钻取石油将获得的利益,却不会造成污染的负面影响,同时还能让富裕国和贫穷国拥有稍微公平点儿的竞技场。值得表扬的是,挪威——一个因钻取国内石油而变得富裕的国家——成为了首个为此提议作出贡献的富裕国家。

不过,最终它被证明太过美好而难以实现。如今,尽管世界各地和厄瓜多尔国内的民权组织展开了系列抗议活动,亚苏尼公园的钻井作业还是被提上了日程。此外,还有一些人将其视为对信任的终极背叛,事实证明,厄瓜多尔政府甚至在气候变化谈判中试图宣传亚苏尼项目期间,也在与来自中国的石油公司商谈钻井的相关事宜。

但是,在这件事中,背叛和失败的主体并不是厄瓜多尔政府——这是国际社会和富裕的发达国家的失败,它们未能成功帮助厄瓜多尔保护该国的国家公园。简单来说,国际社会未能提供必需的资金,因此,资本主义世界经济将厄瓜多尔推到了这样的境地,即该国如果要发展,钻取石油就变得几乎不可抗拒。事实上,富裕国家拒绝提供资金的行为,显示了厄瓜多尔与那些中国公司进行商谈的正确性——这并不代表厄瓜多尔不可信任,而是表明了厄瓜多尔不相信其他国家能帮助他们。显然,他们做了正确的选择。

是时候让富裕的国家意识到,如果世界将改变其能源系统,摆脱对石油的依赖,那么,首当其冲的就应该是在历史上对化石燃料的使用负有最大责任的国家。要求并希望资源明显更少的小国包揽所有工作将不会取得成功,这只会在世界范围内巩固已经对我们造成不良影响的不平等。我们所有人都需要努力改变我们的习惯,远离石油——但是,出于公平和平等的考虑,富裕的国家应该率先行事。是时候让他们停止拖延,拿出点儿实际行动来证明自己所宣传的观点了。


从英文版翻而来
原文于 319, http://anashell.blogspot.com/2014/03/a-failure-of-imagination-leads-us-to.html

[ 哥本哈根气候变化会议,厄瓜多尔政府提出, 亚苏尼项目, 反石油积极分子, 厄瓜多尔国家公园, Yasuni project, 能源系统, Ana Shell ]

Tuesday, April 1, 2014

Memperjuangkan Serikat Buruh di Tennessee

Beberapa minggu lalu, sebuah pabrik manufaktur Volkswagen di Tennessee melakukan pemungutan suara untuk menentukan jika para pekerja akan berafiliasi dengan serikat buruh atau tidak.  Sebenarnya ini adalah prosedur standar yang biasa dilakukan di seluruh industri di dunia.  Hasil pemungutan suara yang ketat menetapkan, setidaknya untuk sekarang, bahwa pabrik tersebut tidak menjadi anggota serikat buruh. Meski kejadian ini terlihat normal, namun hasil pemungutan suara tersebut menjadi perbincangan di seluruh Amerika.



Seorang senator Republikan dituduh memengaruhi pemungutan suara dengan menakut-nakuti para pekerja bahwa mereka akan membahayakan negara bagian Tennessee, dan mengambil potensi lapangan pekerjaan bagi teman-teman dan keluarga mereka.  Sang senator berpendapat bahwa jika Volkswagen menjadi bagian dari serikat buruh, pengusaha lain akan menghindari Tennessee saat menentukan lokasi pabrik manufaktur pilihan mereka akan jatuh pada negara bagian lain yang tidak berafiliasi dengan serikat buruh (seperti beberapa negara bagian di wilayah barat dan timur yang tetap tidak berafiliasi dengan serikat buruh).  Lebih lanjut, mereka juga berpendapat bahwa jika para pekerja menjadi anggota serikat buruh, pemerintah negara bagian tak lagi memberi subsidi kepada Volkswagen sebagai dukungan menempatkan fasilitas produksi di Tennessee pada dasarnya mencoba mewujudkan ramalan mereka menjadi kenyataan dengan mendorong VW merelokasi pabriknya.

Situasi anti serikat buruh seperti ini tetap meluas di Amerika Serikat.  Padahal perusahaan-perusahaan asal Jerman seperti Volkswagen memiliki budaya yang kuat dalam keterlibatan dengan serikat buruh, setidaknya di Jerman, karena adanya kepercayaan yang kuat akan kerja sama, asas saling menguntungkan, dan kebutuhan bekerja sebagai sebuah masyarakat.  Sebaliknya, di Amerika Serikat ideologi anti serikat buruh meluas, dan banyak perusahaan yang mengancam untuk meninggalkan wilayah tertentu jika serikat buruh dibentuk tanpa adanya reaksi dari para politisi atau pemerintah.

Walmart dan McDonalds adalah perusahaan loyalis anti serikat buruh. Walmart bahkan mengamati dengan ketat para karyawan dan akan segera menindak jika terdengar adanya kegiatan yang mengarah pada pengorganisasian buruh sebuah catatan kepada manajemen toko yang berisi sikap anti serikat buruh  baru-baru ini bocor ke publik. Sejak ditandatanganinya perjanjian NAFTA pada tahun 1994, kini semakin mudah bagi perusahaan-perusahaan untuk menutup proses manufaktur mereka dan memindahkannya ke selatan dekat perbatasan Meksiko, tempat upah buruh dibayar lebih murah dan mudah didayagunakan karena tingginya tingkat kemiskinan.

Memang, serikat buruh juga punya kesalahan. Namun serikat buruh telah lama menjadi cara tradisional yang digunakan oleh kelas pekerja dan mereka yang miskin untuk menuntut serta memenangkan hak asasi serta kebebasan dari para pemilik kapitalis yang menindas. Jadi bisa dimengerti alasan perusahaan kapitalis besar seperti Walmart yang ingin menghancurkannya.  Bagaimanapun, para politisi seharusnya membela masyarakat yang diwakilinya, bukannya malah mendukung korporasi anti serikat buruh, seperti yang dilakukan oleh senator Republikan asal Tennessee.  Sayangnya, politisi saat ini lebih memilih uang dan rekan-rekan korporatnya daripada membela yang miskin dan kelas pekerja. Inilah waktunya bagi kelas pekerja di negara bagian wilayah selatan untuk sadar dan memilih wakil rakyat yang berbeda.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 09.03.14: 
http://anashell.blogspot.com/2014/03/fighting-for-union-in-tennessee.html

pabrik manufaktur, Volkswagen di Tennessee, Seorang senator Republikan, Walmart, McDonalds, NAFTA, Memang, serikat buruh juga punya kesalahan, kelas pekerja ]